Hubungan
Antara Manusia dengan Manusia dan Manusia dengan Tuhan
.
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
.
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai
dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri.
Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan
mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan
mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam
perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan”,
kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia
sebagai Allah (31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala
kebenaran (3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha
benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh
sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa.
Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan
kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau
“ridho” daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan
dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu
berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran
itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran
mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal memberikan
rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).
Kata
“iman” berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup
yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan
mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran
pengabdian kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi
diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya,
manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan
diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya
kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan
kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan
terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia
adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas)
dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata
mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati
kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human
totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral
manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan
agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada
dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan
dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan
kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya
sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh
karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak
dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan
nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan
kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari
dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata
guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi
sesama manusia “amal saleh” (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan
kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu
wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi
Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan
adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan
tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati
(24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho
daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu
pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).
“Syirik”
merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan,
dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri
kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan
orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia
menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil,
yaitu riya – pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena
nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
“Musyrik”
adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu
selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat
sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula
seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah
musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4).
Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya
sendiri maupun kepada orang lain.
Maka
sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan
sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang
memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya.
Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan
menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90).
0 komentar:
Posting Komentar